Hakikat kekayaan dapat diartikan sebagai sifat atau esensi dari keadaan memiliki harta atau sumber daya yang bernilai. Kepemilikan dalam hal ini pada masyarakat kita akan membedakan standar hidup dan kaya dinilai dengan kepemilikan harta atau sumber daya yang porsinya lebih dari yang ia butuhkan. Karena jika harta dan sumber daya yang kita miliki sama dengan yang kita butuhkan maka kategorinya masih belum kaya melainkan kehidupan yang pas-pasan. Demikian juga kalau kebutuhannya ternyata jauh lebih besar ketimbang harta dan sumber daya yang kita miliki maka dikategorikan sebagai melarat.
Hakikat guru adalah seseorang yang peran dan tanggung jawab yang luas dalam membimbing, mendidik, dan membantu perkembangan siswa. Menurut UU SISDIKNAS guru memiliki berbagai peranan diantaranya:
- Pelaksana Pendidikan: Guru berperan sebagai pelaksana kegiatan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Mereka bertanggung jawab untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa.
- Mentor dan Pembimbing: Guru berperan sebagai mentor dan pembimbing siswa dalam proses belajar-mengajar. Mereka memberikan bimbingan, dorongan, dan arahan kepada siswa untuk mengembangkan potensi mereka.
- Evaluasi dan Penilaian: Guru memiliki peran dalam mengevaluasi dan menilai kemajuan belajar siswa. Proses penilaian ini dilakukan secara objektif dan adil untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa.
- Pembina Karakter dan Etika: Guru memiliki tanggung jawab untuk membina karakter dan etika siswa. Mereka berperan dalam membentuk kepribadian dan moral siswa selama proses pendidikan.
- Pelaku Inovasi dan Pengembangan: Guru diharapkan menjadi agen perubahan dan inovasi dalam dunia pendidikan. Mereka dapat mengembangkan metode pembelajaran baru, memanfaatkan teknologi, dan terlibat dalam pengembangan kurikulum.
- Pendidik Profesional: Guru diharapkan untuk terus meningkatkan kompetensi dan profesionalisme mereka melalui pendidikan dan pelatihan. Mereka juga berperan dalam memajukan profesi guru.
- Partisipasi dalam Kegiatan Ekstrakurikuler: Selain kegiatan pembelajaran di kelas, guru juga dapat berperan dalam membimbing kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung pengembangan siswa secara menyeluruh.
Melihat banyaknya peran guru, terkadang bertolakbelakang dengan sebutan guru yaitu “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Entah dari mana sebutan ini berawal. Yang jelas menurut sejarah Indonesia, gelar pahlawan tanpa tanda jasa ini memang benar-benar pernah ada. Gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa pertama kali diberikan pada tahun 1993 kepada 24 tokoh yang dianggap memiliki jasa luar biasa terhadap negara dan bangsa. Di antara 24 tokoh tersebut, salah satu yang cukup mencolok adalah Letjen (Purn.) Mochammad Jasin. Yang jelas gelar tersebut bukan buat guru ya.
Saya sendiri masih beranggapan mungkin gelar pahlawan tapa tanda jasa yang diberikan kepada guru itu hanya kelakar. Karena guru itu pahlawan, tapi negara belum mampu memberikan apresiasi lebih, jadi disebut pahlawan namun tanpa tanda jasa. Atau karena gaji guru di Indonesia tergolong rendah dan paling anomali dibandingkan gaji profesi lainnya? Yang jelas bahkan ada pejabat yang berkata kalau ingin kaya jangan jadi guru. Lho kok memangnya guru tidak boleh kaya?
Setiap orang bekerja pasti harapannya ingin kaya. Apalagi pekerja di bidang profesional. Ada orang yang bekerja ingin gajinya segitu-segitu saja? Pastinya tidak. Melarang guru untuk kaya merupakan pelanggaran terhadap hak dasar manusia yaitu keinginan untuk hidup sejahtera. Padahal kalau guru kaya pastinya mengajarnya akan sangat profesional. Tingkat objektivitasnya dalam menilai hasil belajar akan tinggi. Inovasinya berkembang jauh dan punya tekad kuat mengembangkan karakter peserta didik jauh dari ekspektasi acuan sistem pendidikan nasional.
Sebagai contoh guru profesional pasti unggul dalam memotivasi. Kita guru memotivasi peserta didik yang paling kontekstual ya dilihat dari diri kita sendiri. Guru harus disiplin datang pagi, guru harus rajin, tertib, cekatan, dan terampil dalam bekerja. Nah guru yang idaman seperti ini kalau secara penampilan memadai dari aspek kesejahteraan pastinya akan memotivasi peserta didik juga untuk disiplin, rajin, tertib, cekatan dan terampil dalam berbagai aspek kehidupan. Minimal harapannya mereka bisa jadi guru kemudian hidup sejahtera. Lain halnya kalau gurunya disiplin datang pagi penampilannya compang camping, motornya butut, kemudian siswanya harus ikut disiplin datang pagi, apa kata mereka? Nanti kalau saya disiplin gedenya jadi kayak pak guru lagi hidupnya begitu-begitu aja. Sudahlah ga usah rajin-rajin, bandel dikit juga gak papa, tetangga saya yang sering bolos sekolah dan malas belajar saja sekarang sudah jadi polisi, anggota dewan, pengusaha, khawatir kalau terlalu rajin malah saya jadi guru nantinya. Nah begitu kira kira pemirsah. Miris kan!
Sebaliknya ada juga guru yang kaya, tapi kayanya bukan dari jalur guru, bahkan dari jalur yang tak lazim. Muridnya wajib les sama dia, seorang bayar Rp100.000, kalau les dikasih soal dan jawaban ulangan harian pekan depan, yang les minimal 50 siswa saja, sudah tambah gajinya 5 juta per bulan. Ini nyata lho. Kaya gak gurunya? Kaya. Tapi kerdibilitasnya bagaimana? Objektivitasnya bagaimana? Apa seperti ini guru yang baik. Tapi kaya lho dia.
Ada pula guru yang jadi konten kreator, ya ngonten saja dia. Mengajar tidak bermakna. Muridnya tidak faham inti dari pembelajarannya. Tapi yang penting masuk video, masuk youtube, tiktok, instagram, dan sosial media lainnya. Bahkan bisa mendapatkan cuan yang lumayan yang disebut adsense. Sibuk edit konten tapi ulangan harian siswanya tidak pernah diperiksa, jarang masuk kelas. Apalagi kalau konten yang diproduksi sudah tidak berhubungan dengan pendidikan. Ya sudah ngajarnya ambil gaji saja. Pendidikannya bagaimana? ya alakadarnya saja yang penting adsense lancar, toh gaji gurunya tidak seberapa adsensenya.
Ada juga guru yang multifungsi tugasnya banyak sekali, bahkan jadi fasilitator ini dan itu, sibuk keluar kota, dinas luar, keliling kabupaten menggerakkan guru-guru lainnya. Namun di sekolahnya hampa. Siswanya bahkan tak kenal dengan itu guru. Taunya gurunya keren, sibuk, tapi tak ada ilmu yang bermanfaat yang bisa diambil. Tugas terus tiap pertemuan. Pengalaman belajar dengan sang guru nihil. Gurunya makmur karena banyak transport, siswanya kendur karena kurang pemaknaan dalam belajar. Ujungnya mereka berhasil karena ikut bimbel di luar. Terus untuk apa bersekolah.
Ya itu yang aneh-aneh sih sumber kekayaannya, ada juga karena warisan, karena suaminya kaya atau memang dasarnya sudah orang kaya.
Menurut saya guru harus diberikan kesempatan akselerasi kekayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan dari jalur yang benar. Berdasarkan profesionalismenya. Jangan hanya karena dia sudah lama mengajar, pangkatnya tinggi, atau faktor yang non-profesional menjadikan guru itu kaya. Melainkan memang karena gajinya layak. Guru yang layak akan fokus mengajar, kalau tetap tidak fokus bagaimana? Ya dipecat saja. Karena dibanyak ranah pekerjaan juga begitukan? Misal pilot pesawat tidak fokus, ya dipecat ketimbang satu pesawat jatuh dan mati konyol. Tapi ya kalau pilot itu menjamin keselamatan banyak nyawa ya gajilah sebanding dengan tanggungjawabnya.
Seperti halnya tanggungjawab guru yang besar karena bukan hanya menjamin keselamatan nyawa beberapa manusia, tapi juga keselamatan masa depan bangsa.
Tanpa guru yang profesional, bangsa kita akan jalan ditempat, transformasi kemajuan tidak akan pernah ada. Selamat bekerja wahai para guru. Jasamu selalu ku kenang dalam sanubariku.
Bekasi, 11 Desember 2023
Sangat setuju dengan ulasan Abang Bima.. lanjutkan dan mari kita terus menabur karma kebaikan buat anak-anak didik kita di masing-masing sekolah bang.. sukses selalu ya
siap pak Wayan, terima kasih sudah mampir
Mantap kak
Nyatanya yg memang bisa penghasilan di atas UMP mungkin hanya kalangan ASN, tapi proporsi guru di Indo justru terbanyak adalah guru honorer / bukan ASN. Sejatinya negeri ini harus menyetarakan secara nasional penghasilan guru non ASN agar profesi ini bisa dicintai oleh para kalangan milenial sehingga banyak bibit SDM unggul yg memilih profesi guru
Tidak heran banyak anak muda yg tidak memilih kuliah jurusan pendidikan, dibandingkan beberapa profesi favorit seperti kedokteran, teknik dll
Jadi guru belum dianggap pekerjaan profesional jadinya masih dianggap part time job. Sehingga banyak instrumen yang tidak dihitung pada gaji berkaitan dengan tugas, tanggungjawab, hingga etika moril dari seorang guru