Program vaksinasi COVID-19 di Indonesia telah mencapai tonggak penting dengan cakupan 22% dari target populasi. Keberagaman jenis vaksin yang digunakan, seperti CoronaVac, vaksin dalam negeri dari BioFarma, dan AstraZeneca, menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mencapai kekebalan kelompok. Dalam waktu dekat, vaksin Sinopharm akan semakin memperkaya portofolio vaksin yang tersedia.
Artikel ini akan fokus pada dua jenis vaksin yang tengah menjadi sorotan, yaitu AstraZeneca dan Sinopharm. Penting untuk diingat bahwa baik vaksin AstraZeneca maupun Sinopharm telah melalui proses evaluasi yang ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebelum diberikan izin penggunaan darurat di Indonesia.
Meskipun demikian, setiap individu dapat mengalami reaksi yang berbeda terhadap vaksin. Oleh karena itu, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan sebelum melakukan vaksinasi. Atau bisa juga Anda kunjungi pafikotatarakan.org untuk mengetahui informasi lebih lanjut seputar pelayanan informasi obat dan layanan pengaduan dan keluhan kefarmasian.
Vaksin AstraZeneca
Beberapa waktu lalu, kabar meninggalnya tiga orang setelah menerima vaksin AstraZeneca sempat menimbulkan keresahan di masyarakat. Namun, hasil penyelidikan sementara dari Prof. Hindra, Ketua Komnas KIPI, menunjukkan bahwa dua dari tiga kasus tersebut tidak memiliki hubungan kausal dengan vaksin.
Satu kasus disebabkan infeksi COVID-19, dan satu lagi akibat radang paru. Kasus ketiga masih dalam tahap investigasi mendalam melalui proses otopsi yang telah dilakukan pada tanggal 24 Mei 2021. Salah satu kekhawatiran utama masyarakat terkait vaksin AstraZeneca adalah laporan mengenai risiko pembekuan darah yang dapat berujung fatal. Hal ini memicu pertanyaan mendalam mengenai keamanan vaksin tersebut.
EMA Temukan Kaitan Antara Vaksin AstraZeneca dan Pembekuan Darah, Meski Sangat Jarang
European Medicines Agency (EMA) telah melakukan evaluasi terhadap laporan kasus pembekuan darah yang terkait dengan penggunaan vaksin AstraZeneca. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara keduanya, meskipun kejadian ini sangat jarang terjadi.
Terhitung pada 5 Mei 2021, dari 30 juta dosis yang telah diberikan di Eropa, tercatat 262 kasus pembekuan darah, dengan 51 di antaranya berujung fatal. Meski angka ini terbilang kecil, EMA tetap melakukan pemantauan ketat. Namun, mengingat manfaat vaksin yang lebih besar dalam mencegah penyakit parah akibat COVID-19, EMA memutuskan untuk tetap mengizinkan penggunaan vaksin AstraZeneca.
Adenovirus Picu Reaksi Mirip HIT, Sebabkan Pembekuan Darah Fatal
Mekanisme pasti terjadinya pembekuan darah setelah vaksinasi dengan platform adenovirus, seperti AstraZeneca dan Johnson & Johnson, masih diteliti. Namun, seorang peneliti Jerman, Greinacher, mengajukan hipotesis bahwa adenovirus dapat memicu reaksi imun berlebihan. Reaksi ini menyebabkan aktivasi platelet dan pembentukan gumpalan darah.
Fenomena ini mirip dengan heparin-induced thrombocytopenia (HIT), di mana tubuh justru membentuk gumpalan darah saat diberikan heparin. Meskipun kejadian ini sangat jarang, namun potensi fatalnya tidak bisa diabaikan. Reaksi ini bisa diibaratkan dengan reaksi alergi parah (anafilaksis) terhadap penisilin, di mana sistem imun tubuh justru menyerang zat yang seharusnya tidak berbahaya.
Ini yang Perlu Anda Ketahui tentang Pembekuan Darah Pasca Vaksin
Pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca, terutama jenis cerebral venous sinus thrombosis (CVST), ditandai dengan gejala seperti sakit kepala hebat, gangguan penglihatan, dan kesulitan bernapas. Meskipun kasus ini jarang terjadi, penting bagi penerima vaksin untuk waspada terhadap gejala-gejala tersebut.
Ketika muncul laporan kasus kematian yang terkait dengan vaksin ini, pihak berwenang melakukan investigasi menyeluruh terhadap batch vaksin yang digunakan. Hasil investigasi terhadap vaksin AstraZeneca menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada kualitas vaksin secara umum, melainkan kemungkinan adanya faktor individu yang memicu terjadinya pembekuan darah.
Meskipun risiko pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca sangat kecil, penting bagi masyarakat untuk tetap waspada. Jika mengalami gejala seperti sakit kepala hebat, gangguan penglihatan, atau kesulitan bernapas setelah vaksinasi, segera konsultasikan dengan dokter. Untuk memastikan keamanan vaksin, pengawasan terus dilakukan oleh lembaga terkait. Jika ditemukan adanya masalah pada suatu batch vaksin, tindakan penarikan dan investigasi akan segera dilakukan. Hal ini menunjukkan komitmen untuk menjaga keamanan masyarakat.
Vaksin Sinopharm
Vaksin Sinopharm, yang dikembangkan di China, telah melalui berbagai uji klinis dan mendapatkan pengakuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Jenis vaksin ini menggunakan teknologi virus yang sudah dimatikan, sama seperti vaksin Sinovac. Dalam uji klinis di Uni Emirat Arab, efikasi Sinopharm mencapai 78%. Vaksin ini aman digunakan untuk orang berusia 18 tahun ke atas, termasuk lansia. Karena menggunakan teknologi yang sama, profil efek samping Sinopharm juga mirip dengan Sinovac, yaitu sangat jarang terjadi.
Jangan Khawatir, Efek Samping Vaksin Sinopharm Tidak Berbahaya
Efek samping yang muncul setelah vaksinasi Sinopharm seringkali disamakan dengan gejala flu biasa, seperti demam ringan, nyeri otot, dan kelelahan. Reaksi ini merupakan tanda bahwa sistem kekebalan tubuh sedang bekerja membangun perlindungan terhadap virus COVID-19. Meskipun tidak menyenangkan, gejala-gejala ini umumnya ringan dan tidak berbahaya.
Terbukti Aman dan Efektif, Jutaan Orang Telah Divaksin AstraZeneca dan Sinopharm
Ribuan orang di berbagai negara telah mengikuti uji klinis vaksin AstraZeneca dan Sinopharm. Dan sudah terbukti kedua vaksin aman dan efektif dalam penggunaannya. Efek samping yang muncul setelah vaksinasi umumnya ringan, seperti nyeri di tempat suntikan atau demam ringan. Jika Anda mengalami efek samping yang lebih serius, segera konsultasikan dengan dokter. Perlu diingat bahwa adanya efek samping menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh sedang bekerja merespons vaksin.